Monday, December 17, 2012

Kelepon dan Onde-onde

Tau kelepon kan? Itu, yang saya maksud adalah kue kecil, ijo, kenyal dan berisi gula merah. Dari dulu nama kelepon "mengganggu" banget buat saya. Bikin saya kepikiran ajah, darimanakah asal kata tersebut? 

Kata yang kedengerannya paling mirip sama kelepon adalah "colophon". Kalo ga salah ini adalah bahasa Latin (waks!). Artinya adalah bagian dari buku yang berisi informasi/ data teknis tentang buku itu (ditulis pake font apa, disetting sama siapa dll). Arti kata ini jauuuuuhhh.. banget sama benda ijo kecil bernama kelepon itu tadi bukan? Jadi, bisa dipastikan kata kelepon BUKAN berasal dari bahasa latin ini. Lagian juga, nggak pernah ada dalam catetan sejarah kalo Socrates atawa Phytagoras nyemil kelepon..

Kata lain yang tampaknya deket dengan "kelepon" adalah "kelapa". Nah, ini rada deket nih hubungannya.. kelepon 'kan berbalur kelapa! Jadi mungkin saja.. mungkiiiiiinnn banget.. dulunya nama kelepon diturunkan dari proses pengerjaannya. "Iki jajan luwih mak nyuss yen sakwise direbus, trus dikloponi.." Gitu barangkali asal muasalnya, pada suatu hari di tanah Jawa. 

Tapi, kenapa dugaan ini diarahkan ke bahasa/ tanah Jawa?

Simply, karena di daerah lain (dari Sumatera sampe Sulawesi), kelepon disebut sebagai onde-onde!

OK, kecuali di Kalimantan. Bahasa Banjar untuk kelepon adalah kalalapon..

Onde-onde, on de ader hand (baca: on the other hand) di tanah Jawa adalah kue dari tepung ketan yang berisi kacang ijo kupas dan ditaburi wijen

Untuk anda yang penasaran, berapakah jumlah wijen di atas sebutir onde-onde.. begini hitung-hitungannya..

Dengan diameter 5 cm, luas permukaan onde-onde adalah 78.5 cm persegi. Gunakan rumus luas permukaan bola. Apabila kepadatan biji wijen 18 - 20 butir per cm persegi, maka jumlah wijen yang bertaburan di atas sebuah onde-onde setidaknya adalah.. 1,413 butir!!

Kalo anda dikasih onde-onde yang wijennya kurang dari ini, jangan diterima deh.. itu pasti LCOO (low cost onde-onde)!

Picture of Onde-onde By: Midori (Own work) [GFDL (http://www.gnu.org/copyleft/fdl.html) or CC-BY-3.0 (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0)], via Wikimedia Commons

Satuannya Apa?


Beberapa hari lalu, saya dan teman-teman membahas satuan dari makanan. Iseng banget sih? Nggak juga.. soalnya sore itu kami bermaksud pesan makanan lewat telpon ke salah satu warung padang. Jadi, kami harus menyebutkan satuan makanan yang kami pesan dengan akurat bukan?

Ketika menentukan satuan makanan, umumnya orang menggunakan kata 'porsi', terjemahan dari kata 'portion' atau 'bagian'. Dalam bahasa inggris, kata 'porsi' ini diterjemahkan sebagai 'serving size'. Ini menunjukkan pengaruh budaya. Kita, orang Indonesia, merasa makan adalah peristiwa sosial, sehingga satuan makanan kita yang lebih tepat adalah 'portion' atau 'bagian' dari makanan bersama. English speaking people (wong londo.. baik londo europe maupun londo ngamrik), merasa makan adalah peristiwa personal.. sehingga ada unsur subjektif untuk 'mendapat sajian' atau served..

Anyway, kata 'porsi' bukan satu-satunya satuan makanan, dan sebaiknya tidak sering-sering digunakan. Lho kok? Ya, karena 'porsi' itu nggak standard banget. Seporsi nasi uduk di warung mPok Iti misalnya, adalah sepiring penuh, rada menggunung. Sedangkan seporsi nasi uduk di restoran Sebrang Danau adalah setangkup hasil cetakan mangkuk kecil. Kalau anda laper banget, seporsi uduk di mPok Iti akan sangat memuaskan sementara di Sebrang Danau anda perlu nambah seporsi lagi.. Mungkin suatu hari nanti perlu diberlakukan standardisasi porsi nasi uduk secara nasional.

Kata lain yang biasa digunakan adalah "potong". "Beli nasi uduk sama ayam goreng sepotong" misalnya. Memang kata ini lebih umum digunakan untuk merujuk pada lauk pauk. Mungkin ini disebabkan oleh kebiasaan kita memotong lauk. Sepotong ayam misalnya, bisa berarti potongan dada, potongan sayap atau bagian lain. Untuk makanan yang berasal dari hewan utuh (tidak dipotong) satuan yang digunakan sudah benar.. yaitu ekor. Seekor ikan, seekor burung puyuh, tiga ekor udang..

Satuan 'potong' juga digunakan sebagai unit of measure dari kue dan roti. Ingat film "Cinta dalam Sepotong Roti" karya Garin Nugroho? Masalahnya, bagaimana menunjuk satuan dari kue yang tidak dipotong? Apa satuan dari lemper, onde-onde atau pukis? Sepotong lemper? Kan nggak dipotong? Sepotong onde-onde? Ya, karena bunder, bolehlah digunakan kata 'sebutir onde-onde'.. Bagaimana kalau 'sebuah pukis'.. Hedeuh.. Pukis kan nggak pake buah!!! Lalu bagaimana dengan kue putu? Sebatang kue putu?

Nah, komplikasi yang sama bisa terjadi apabila kita mau memesan martabak. Berapa yang harus kita pesan? Apa sih satuan dari martabak? 

Anda mungkin berfikir kalau satuan dari martabak adalah 'loyang'. Seloyang martabak!! Pinteeerrr... tapi itu berlaku cuma buat martabak manis! Lha kalau yang saya maksud adalah martabak telur, seperti Martabak Kubang misalnya?

Menyebutnya sebagai 'sepotong martabak' rasanya nggak pas karena pikiran anda pasti langsung tertuju pada "sepotong, berukuran kecil, yang merupakan bagian dari martabak besar". Jadi, bukan itu satuan yang tepat. Sebuah? Ah.. kok nggak pas juga ya? Selembar? Hmm.. martabak terlalu gendut untuk dianggap sebagai sebuah lembaran.
Ahh.. bagaimana kalau kita sepakati saja, satuan nasional untuk martabak telor adalah... Gepok!!

"Bang.. beli Martabaknya ya.. Spesial.. Dua gepok!!!"

(gambar martabak dari www.inatourism.com)

Wednesday, October 24, 2012

Roti sehat kok jamuran?


The Sotoyest Human on The Planet is back! Hehe..

Mengamati obrolan di milis JS tentang ciri-ciri roti "sehat", umumnya mengatakan bahwa ketiadaan pengawet ditunjukkan dari jamur yang tumbuh di roti dalam beberapa hari. Deus, roti tersebut lebih sehat daripada roti yang nggak jamuran dalam waktu lebih panjang. Tapi, benarkah roti yg cepat jamuran berarti nggak pake pengawet? Atau sebaliknya, roti yang agak lama baru jamuran berarti dibubuhi pengawet berlebih sehingga tidak sehat?

Nah, untuk itu.. (entah kenapa saya selalu ingat Timbul Srimulat kalau ngomong "untuk itu".. OOT pisan! :)

Ya, untuk lebih meyakinkan, maka sepagian ini saya ngubek-ngubek gugel untuk cari jurnal ilmiah yang membahas tentang ini. Alhamdulillah, nemu satu yang lumayan bagus, judulnya Microbial Spoilage of Bakery Products and Its Control by Preservatives, tulisannya Saranraj dan Geetha (baru nih, tahun 2012).

Isinya lumayan mencerahkan dan mengingatkan beberapa hal. Pertama, kenapa roti bisa jamuran? Roti kan dipanggang sampai suhu 200C selama beberapa menit (di atas 10 menit ya?). Secara umum jamur dan bibit-bibitnya yang berada di permukaan roti akan terbakar mati pada proses pemanggangan ini. Panas lho di dalem situ! Jadi, mestinya permukaan roti yang baru keluar dari oven itu bersih banget, kalau nggak mau disebut steril. 

Nah, jamur kemudian datang dari mana? Wah, bisa macem-macem sebabnya. Bisa kena dari udara, debu atau pembungkus yang tidak bersih. Juga bisa disebabkan dari penanganan roti yang kurang baik, misalnya kebersihan pabriknya kurang terjaga atau roti diiderin keliling kota dalam kontainer yang tidak terjaga, Bibit jamur juga bisa bertahan pada proses pemanggangan kalau bahan (terutama terigu) mengandung bibit jamur, atau pemanggangan yang kurang sempurna. Btw, nama resmi jamur roti yang paling umum adalah Rhizopus stolonifer (udah, nggak usah dihafalin :).

Karena kandungan air pada roti lumayan tinggi (untuk roti tawar sekitar 30-35%an), jamur yang mendarat di permukaan jamur bisa dengan mudah tumbuh. Tapi untuk tumbuh, jamur perlu waktu 1-2 hari sampai "pohon" jamurnya cukup besar hingga terlihat oleh mata manusia.

Dari sini, kita bisa bertanya-tanya, lha kalau roti jamuran dalam waktu dua hari setelah dibikin, bukankah itu berarti sesaat setelah dipanggang itu roti langsung kena bibit jamur? Berarti tempat bikin atau penanganannya nggak beres dong? Emang sih, artinya rotinya nggak pake pengawet, tapi kan kita ga mau jorok juga..

Lalu bagaimana dengan pengawet? Sebenernya penggunaan lemak, garam dan gula, juga pemanggangan yang baik bisa berfungsi sebagai pengawet alami. Lemak dan protein yang mengikat air bisa membuat kandungan air pada produk kue dan roti jadi nggak bebas untuk dipakai oleh jamur buat tumbuh. Mungkin itu sebabnya roti/ kue yang berlemak tinggi rada awet dibanding roti tawar. Masalah pada lemak bukan (hanya) jamuran, tetapi juga tengik. Kita bahas itu lain kali ya.. Sayangnya, pengawet alami ini seringkali kurang kuat sehingga untuk menghindari kontaminasi yang terlalu cepat maka pabrikan menambahkan beberapa bahan lain. Yang populer adalah potasium sorbat atau kalsium propionat. Jumlahnya kecil banget kok, dan mestinya nggak berbahaya pada dosis yang dianjurkan (ingat, garam juga kalau kebanyakan mah bahaya bukan?). Dengan penambahan pengawet dalam jumlah dan jenis yang aman, pertumbuhan jamur bisa ditunda sampai sekitar 5 hari.

Nah, di sini kita bisa ambil angka bagus nih buat ancer-ancer. Inget ya, buat ancer-ancer aja. Secara umum, kalau roti jamuran sebelum 2 hari, berarti ada yang kurang benar pada penanganannya, baik di pabrik, di jalan, di toko, atau bahkan di rumah kita. Kalau roti nggak jamuran juga setelah lebih dari 5 hari, maka berarti pengawetnya bekerja terlalu giat. Bisa karena kebanyakan atau karena jenisnya yang nggak beres.

Mudah-mudahan tulisan sotoy ini nggak nambah bingung dalam memilih roti yang "sehat". O,ya, supaya lebih "sehat", beli rotinya jangan pake mobil. Pakai baju olahraga yg keren, sepatu supernyaman, terus lari ke toko roti terdekat.. literally, lari!

(foto roti yg sedap itu diambil dari: http://www.onlytoptens.com/all/top-10-sandwiches/)

Tuesday, July 10, 2012

Homo sapiens coquereus

Kalau raw food kita sederhanakan menjadi "makanan mentah" atau makanan yang nggak melewati proses pemanasan, ujung-ujungnya bisa muncul pertanyaan "kenapa kita memasak?". Maksudnya, kenapa sih kita, manusia ini repot-repot memasak makanan kita? Nggak cuma sekadar ambil, cuci, campur, makan?

Jawabannya.. ribet juga ternyata. 

Professor Richard Wrangham dari Museum of Comparative Zoology, Harvard Uni, bilang kalau memasak adalah salah satu karakteristik manusia yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Emang sih, rasanya belum pernah liat ada marmot bikin nasi goreng, atau kura-kura bikin pancake..

Terus kenapa manusia memasak? Kalau kita lihat secara anatomi (hayo siapa yang dulu di SMP/ SMA pernah ngebedah kodok?), kita bisa perhatikan kalau struktur gigi, rahang, dan otot rahang manusia umumnya kecil dan lemah. Okelah ada beberapa orang yang otot rahangnya rada gede (Arnold Schwarzeneger misalnya), tetep aja relatif kecil dibandingkan dengan gorila, simpanse atau buaya. Rahang manusia nggak cukup kuat untuk merobek batang bambu seperti panda, atau memecah biji kenari seperti tupai. Begitu pula dengan lambung dan usus manusia. Relatif tipis dan lemah. Beda sama babat sapi..

Apa akibatnya? Akibatnya, manusia yang desain anatominya seperti ini perlu asupan energi yang mudah diproses. Bisa berupa biji-bijian kecil, kacang-kacangan, dan tumbuhan berdaun lembut (iyah, saya lagi ngomongin spesies sayah: manusia sunda pemakan daun:). Ini bisa dimakan langsung tanpa diapa-apain. Dicocol sambel lebih nikmat sih.. Repotnya, biji, kacang dan daun tidak dengan cepat memenuhi kebutuhan energi manusia. Maka dari itu perlulah sumber energi lain, misalnya tumbuhan dengan karbohidrat tinggi. Singkong dan kentang misalnya. 

Karbohidrat (yang juga bisa didapat dari biji-bijian/ serealia) umumnya dikemas oleh Tuhan dalam bentuk rantai panjang dan ribet bernama polisakarida. Apakah manusia bisa memanfaatkan polisakarida (pati) ini? Bisa aja, tapi nggak efektif. Ongkos energi untuk mengurai pati menjadi gula, lalu gula menjadi energi lagi bisa nggak nyucuk. Coba aja kunyah beras yang belum dimasak. 

Terus gimana dong? Disini manusia memasukkan sumber energi lain.. panas dari api! Dengan adanya panas (dan air), polisakarida akan tergelatinisasi dan putus-putus sehingga lebih mudah dicerna (dirubah jadi energi). Pun demikian dengan protein hewani. Protein yang berupa rantai panjang dan ribet akan terputus (terdenaturasi) sehingga lebih mudah dicerna. Daging hewan buruan akan semakin empuk dan mudah diproses oleh rahang dan saluran cerna manusia nan lemah ini. Bagaimana dengan protein marina? Ikan dan sumber makanan laut umumnya sudah empuk dan proteinnya lebih sederhana, sehingga sudah mudah dicerna. Mungkin ini sebabnya beberapa bangsa di dunia makan ikan (laut) mentah-mentah.

Makanan laut (khususnya ikan) sering kali juga diproses dengan asam, khususnya berupa air jeruk lemon/ jeruk nipis. Kenapa eh, kenapa? bukannya tanpa asam pun makanan laut sudah mudah dicerna? Jawabannya sama aja.. dengan adanya asam, protein ikan akan terdenaturasi (ditandai dengan warnanya berubah) sehingga lebih mudah lagi dicerna. Asam juga punya fungsi lain. Dengan turunnya pH (makin asam), kemungkinan bakteri untuk hidup juga menurun. sehingga kontaminasi bisa dihindari. Hubungan "magical" lain antara asam dan ikan adalah.. menghilangkan bau. Bau ikan datang dari senyawa yang jenismya amine (amine tjendrakasih? bukaaann.. dasar jadul!). Volatile amine adalah senyawa hsil bongkaran protein yang mudah terbang.. sehingga mudah hinggap di hidung. Asam bereaksi dengan volatile amine ini dan berubah menjadi garam amonium yang susah terbang. Bau pun hilang..  

Dari sini kelihatan bahwa kebutuhan memasak makanan atau tidak, sangat dipengaruhi oleh kebutuhan nutrisi. Sebagai hominid (keluarga "kera besar") manusia punya kebutuhan protein yang lumayan tinggi. Buat apa? Salah satunya adalah untuk.. berpikir. Berpikir memungkinkan manusia mengembangkan budaya dan menjadikan manusia dari sekadar brutal hominid menjadi "Homo sapiens" (hominid yang bijaksana, wise man). Dan manusia bijaksana ini juga ternyata membentuk (atau dibentuk) dari kemampuan mengendalikan api yang kemudian digunakan untuk memasak. Apakah kalau tidak memasak manusia kembali ke jaman Homo erectus? Nggak juga. manusia bijaksana selalu menggunakan energinya dengan efisien. Makanan dimasak kalau memang perlu dimasak. Kalau nggak perlu.. ya nggak usah. Apalagi kalau rasanya juga udah enak :)

Maka Homo sapiens kemudian berkembang menjadi Homo sapiens coquereus (wise man cooking). Istilah latin yang terakhir ini sih bikinan saya, nggak ada di buku.. hehehe..  

(gambar dari: http://cache.io9.com/assets/images/8/2011/08/xlarge_evolutioncooktop.jpg)

Monday, June 4, 2012

Negeri Kerupuk Mekar

Sama-sama dari ikan dan kanji, sama-sama diulenin, sama-sama diadonin... Tapi, kenapa kerupuk ngembang ketika digoreng sedangkan pempek tidak? 

Baiklah, mari kita lihat lebih dalam.. Maksudnya kita lihat dalamnya si pempek dan kerupuk ini. Perbedaan paling besar dari pempek dan kerupuk adalah perbandingan jumlah ikan dan tepungnya. Pempek menggunakan perbandingan ikan : kanji beriksar antara 3:1, 2:1 atau 5:3, tergantung keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sementara kerupuk, perbandingan ikan : kanji berkisar antara 1:1 hingga 1:5. Ini kerupuk ikan ya, bukan kerupuk rasa ikan.

Singkatnya, pada pempek jumlah ikan selalu lebih banyak daripada kanji, sementara kerupuk sebaliknya.

Terus apa efeknya? Begini, daging ikan pada dasarnya adalah protein. Protein ini akan bekerjasama dengan kanji untuk menentukan nasib adonan selanjutnya. Kalau adonan kanji direbus, dia akan mengembang (nama resminya: tergelatinisasi) dan membentuk jaring yang akan menjebak molekul-molekul air. Protein, dengan ujung molekulnya, akan bekerja sama untuk memegang air yang sudah dijebak ini. Dijagain baik-baik sehingga ga gampang lepas. Semakin tinggi kadar proteinnya, semakin banyak juga yang bakal megangin air di adonan.

Ketika masih berupa batangan adonan, kadar air pempek dan kerupuk bisa jadi hampir sama. Tapi ketika dibiarkan pada udara terbuka (apalagi dijemur) kerupuk akan melepas sebagian besar airnya sehingga akhirnya kerupuk lebih kering daripada pempek. Cireng, yg ga pake campuran protein sama sekali, adalah bentuk lain adonan kanji. Cireng gampang banget kering kalau disimpan.

Lalu apa yg terjadi ketika tiba pada urusan goreng menggoreng?

Kandungan air yang tinggi, ditambah bentuk geometris pempek yang murni tri-dimensional, yaitu memiliki struktur pada sumbu x, y dan z (atau x, r dan w pada pempek lenjer) membuat konduksi panas dari minyak goreng terhalang koefisien pindah panas, sehingga molekul air pada titik yang lebih jauh dari dX tidak mengalami perubahan fasa....  (maaf, paragraf ini ditulis dalam keadaan kesambet Isaac Newton hehe..)

Bahasa manusianya gini.. Karena gede dan susah ngelepas air, ketika digoreng pempek hanya sempat kering di luarnya. Di dalemnya kandungan air masih lumayan banyak sehingga masih kenyal-kenyal empuk.

Sementara pada kerupuk ketika digoreng, terjadi peristiwa yang luar biasa secara molekuler! Molekul air yg tinggal sedikit (harus sedikit) akan menguap dengan cepat, nyaris seperti meledak ketika kena minyak panas. Ledakan ini akan mendorong jebakan kanji yang semi elastis untuk merentang dan mengembang seperti balon yang ditiup. Air yang lepas kemudian membuat jaringan kanji yg sudah didorong ini mengering dan kaku. Inilah yang membuat kerupuk mengembang dan renyah. Dan ini juga menjelaskan kenapa kerupuk bisa "digoreng" pakai pasir, bahkan dipanggang langsung di atas api dan tetep ngembang dan renyah. Cak Yohan Handoyo, momods JS jagoan wine, punya skill level 9 dalam hal manggang kerupuk udang biasa jadi mekar bagus..

Jumlah air pada kerupuk ini tricky.. Kalau kebanyakan air dia ga akan ngembang, karena panas yg disupply minyak ga cukup buat bikin "ledakan", tapi kalau kurang air maka nggak ada juga yg ngedorong lapisan kanji buat melar. Ujung-ujungnya bantet juga. Indonesia, yang disinari matahari equatorial yang mentereng gonjreng, memiliki kelembaban udara yg lumayan tinggi juga. Ini bagus buat mengatur kadar air kerupuk. Cukup jemur kerupuk di luar rumah, biar alam Indonesia yang ngepasin kadar air buat kepingan kerupuk mentah. Tuhan emang tau banget kalau kita, bangsa Indonesia, doyan banget kerupuk.. (note: gambar kerupuk dari wikipedia)