Wednesday, September 24, 2008

Korcket Science!


Nggak, ini nggak salah nulis kok. Memang begitu yang saya maksud: Korket. Ini salah satu makanan unik yang saya temuin waktu survey buat jalan-jalan ke Madura pertengahan Agustus lalu. Yap, THAT Madura! Setelah hampir tidak menemukan makanan unik di sepanjang pantai Utara Madura (ada sih, tapi nggak terlalu notable), akhirnya saya sampai ke Sumenep.

Atas petunjuk Cindih Cereth, perburuan Korket dilakukan begitu matahari menampakkan diri di langit Sumenep. Jam 5.30 pagi, blusukan dimulai. Dengan semangat kita menuju Apen Boulevard di ujung kota Sumenep. Di daerah ini banyak banget penjual Apen, makanya saya sebut Apen Boulevard! Apen sendiri adalah apem/ serabi gaya Madura dengan ukuran super mini berkuah kinca-santen yang mantep. Lho, katanya nyari Korket, kok ke tukang Apen? Rupanya di Apen Boulevard inilah korket sering menampakkan dirinya. Di sini yang banyak dijual adalah korket versi basic.

Apaan sih korket? Ini adalah gorengan yang (saya duga) dibuat dari singkong rebus yang ditumbuk halus (mashed singkong) lalu dibentuk capsule berukuran batu batere buat senter Hansip (ukuran batre paling gede deh..). Rasanya? Persis kayak singkong rebus tumbuk yang digoreng.. hehe.. Untuk membantu membangun rasa, korket basic ini dibantu oleh sambel kacang encer kayak sambel lumpia goreng di SD dulu.

Itu versi basic.. Jam 7 pagi-nya saya mendapat versi premium dari korket. Masih gigantic-capsule-shaped-deep-fried-mashed singkong, tapi bumbunya lebih kompleks (diduga ada keterlibatan Royco hehe..), dan diberi tambahan cincangan bawang daun dan sledri sehingga permukaan gorengan tampak cantik dengan semburat warna hijau di sana-sini. Ukurannya juga sedikit lebih besar dari korket basic version.

Untuk yang satu ini, waduh.. lawannya bukan sambel kacang encer ecek-ecek.. Korket ini disandingkan dengan Kalsot. Apakah Kalsot? Ini adalah "soto Madura" dengan kaldu kikil yang gurih dan gelatinous berisi kacang ijo rebus, aneka jeroan iris dan sepotong kikil sapi plus tulang dan sumsum segede gagang telepon kelurahan!

Beberapa hari lalu di rumah, berbekal foto dan potongan memori di lidah saya, korket ini coba di-reverse engineered oleh Dila. Ini terpaksa dilakukan karena kita nggak bisa nemu resepnya meskipun sudah di Google. Hasilnya, korket made-in Serpong buat buka puasa. Meskipun secara rasa sudah pas, tapi dari tekstur dan kekenyalan rada meleset. Ini sih kayaknya karena beda jenis singkongnya. Singkong dari Madura kan ga ada tandingannya!

Tuesday, September 23, 2008

Kopi Luwak.. Hahahaha!

Hari ini (31 Agustus 2008), saya dan beberapa teman milis JS mendapat sesuatu yang luar biasa dari Mas AdiWT, si Peminum Kopi. Sesuatu itu bentuknya adalah selembar kertas, tak lebih dari setengah kertas A4. Sertifikat tanah? Sayangnya bukan.. tapi ini nggak kalah berharganya. Ini adalah sertifikat kecil bertuliskan "SAYA PERNAH MINUM KOPI LUWAK" lengkap dengan identitas kopi luwaknya, nomer sertifikat keaslian kopi luwak yang diterbitkan oleh Puslit Kopi dan Kakao Indonesia (no 146/AO-ICCRI/VIII/2008) dan jenis kopi luwak yang saya minum. Ya, kopi
luwak juga ada jenis=jenisnya lho..

Sertifikat ini saya dapat setelah acara seru Coffee Mythbusting yang diotaki oleh Mas Adi, setelah beliau mendapat stok kopi luwak dengan jumlah yang cukup. Acaranya Sabtu pagi tadi, jam 10 di Bakoel Koffie Cikini.

Pagi-pagi, Adi dan Jeng Mia sudah menjejer 3 gelas kosong lengkap dengan marking A, B, C. Setelah peserta dateng (beberapa teman baru.. senangnya..) dan kumplit, Adi mulai mengisi bubuk kopi ke gelas-gelas kosong tersebut. Sialan.. bahkan saya, yang biasanya dapat bocoran sehingga bisa belaga sok tahu, kali ini nggak dapet info apa isi gelas A, B dan C itu. Pokoknya, yang satu berisi kopi luwak liar (asli luwak hutan) dari Lintong, satu berisi kopi luwak Arabika ternakan dari Andungsari Jember dan satu lagi kopi Mandailing Grade 1 Ekspor.

Sniff..sniff.. idung berusaha mencari jejak-jejak sang luwak diantara kopi-kopi bubuk ini. Air panas dituangkan dan merebaklah aroma sedap ke seantero ruangan. Endus.. enduss.. tetep kok nggak ketemu ya bau-bau si luwak ini. Wah, jangan-jangan ditipu Adi nih.. kopi kiloan pasar dibilang kopi luwak.. Tapi, karena saya tau Adi dulunya Pramuka (baca: bertanggungjawab dan dapat dipercaya, hemat cermat dan bersahaja...) maka kok rasanya nggak mungkin Adi bohong..

Aroma kopi di gelas A mengingatkan saya pada nangka mateng yang harum dan manis. Ada bau getah dan tanah di situ. Paduannya agak berantakan tak beraturan. Hirupan pertama menghasilkan body tipis dengan acidity yang sedang-sedang saja. Ada rasa buah-buahan tipiiiisss banget, dan aftertaste-nya nyureng di tenggorokan. Finishnya rada panjang dan sedikit lingering. Kesimpulannya: Ga doyan!

Aroma kopi di gelas B lebih segar. Meskipun crema hasil tubrukannya nggak segenjreng kopi A dan C. Aromanya fruity dan floral, bodynya rada mantep, dibandingin yang pertama. Acidity-nya juga sedang-sedang saja (ini kopi apa lagunya Veti Vera sih..). Yang menyenangkan adalah rasa fruity yang bulat mantap terasa di tiap tegukan, matching sama aromanya. Finishnya juga bersih dan pas. Kesimpulan: Doyan nih.. kalo ada secangkir lagi, boleh..

Aroma kopi di gelas C tercium rada earthy, dengan sedikit aroma coklat item. Crema-nya paling cihuy. Begitu diseruput, terasa bodynya yang tipis tapi seksi, dengan acidity yang melonjak-lonjak.. dziiinggg.. terasa di langit-langit mulut. Pertama sih lucu.. lama-lama kok nyebelin ya.. Serasa nonton film komedi Indonesia.. Rasa coklat yang diduga muncul bareng sama aromanya ternyata dateng tuipiiiissss banget. Nyaris nggak kerasa diantara acidity yang terlalu riang gembira ini. Finishnya rada panjang, dengan tone manis di aftertaste. Kesimpuannya: Hmm, bukan favorit, tapi kalo ada sih nggak nolak..

Dan sodara-sodara, ternyata kopi yang saya paling nggak doyan (Kopi A), itulah kopi luwak liar yang katanya eksotik itu!!!! Harga per kilonya di tingkat eksportir bisa mencapai 1.9 juta perak. Kalo sudah sampai ke negara tujuan ekspor bisa dibandrol sampai 5-8 juta perak. Duh..

Kopi C, yang saya nggak gitu hepi, ternyata adalah (lagi-lagi) kopi luwak!! Kali ini, luwak ternakan di kebun Andungsari. Harga perkilonya nggak semahal kopi A, "cuma" 1.5 juta perkilonya. Lagi.. duh...

Nah.. kopi yang saya doyan banget.. Kopi B itu adalah Mandailing Grade 1 Ekspor. Meskipun ini bukan kopi sembarangan, harganya nggak ada apa-apanya dibanding kopi luwak. Berapa? Cuma 53 rebu perak dowang per kilo!! Duh, selera saya kok sama yang murah meriah gini ya..

Yah, selera memang nggak bisa dipaksain.. kalo nggak doyan, ya nggak doyan aja, biarpun mahal, eksotik dan kondang seantero jagad. Dan kalo doyan, ya doyan ajah.. meskipun itu barang "murah". Apakah selera saya perlu di-upgrade? Nggak ah. Saya cinta kopi Mandailing murah saya
itu..

Soal kopi luwak, saya punya surat resmi yang bilang "SAYA PERNAH MINUM KOPI LUWAK" asli!!! Ente fan kagak funyaaaahhh.. hahahahaaa.... (ketawa kayak penjahat di film-film).

Culinary Crime

Awalnya adalah kasus "Makanan Sampah", sebuah stasiun TV (*duh kok mendadak lupa namanya*) menyebut istilah "Kejahatan Kuliner".

Istilah ini kemudian dipakai juga untuk merujuk pada bentuk penipuan populer di jagad kuliner Indonesia. Misalnya saja kasus ayam dan ikan berformalin, kasus jualan makanan kemasan kadaluarsa, kasus ayam DeSY (Dead Since Yesterday, a.k.a Tiren) dan daging sapi gelonggongan.

Kasus-kasus ini selalu naik popularitasnya di bulan Ramadhan. Selain karena biasanya masyarakat jadi lebih concern dengan belanjaan makanan di bulan ini, gosip artis juga biasanya rada sepi (puasa puasa kok ngegosip..). Apakah kasus kejahatan kuliner nggak terjadi di luar bulan Ramadhan? well, just because it's not on TV.. bukan berarti bukan?

Kejahatan kuliner, umumnya memang berbentuk penipuan dan kebohongan terhadap publik (bukan "kebohongan publik" ya, yang itu artinya "publik rame-rame berbohong"). Dan sialnya, ini terjadi setiap hari tanpa bisa dicegah. Mulai dari bikin antrian di depan kios biar kesannya rame, sampai pura-pura nge-review di milis biar restorannya laku.

Salah satu bentuk kejahatan kriminal paling tua adalah "Getok Pricing". Dari dulu, kita sudah sering dengar bahwa ada beberapa tempat di tanah air (biasanya di Jawa Tengah dan sekitarnya) yang pedagang makanannya selalu memasang tarif ganda untuk "lokal" dan "turis" meskipun yang disebut "turis" ternyata adalah saudaranya sebangsa dan setanah air. Di jalur-jalur mudik, dimana transaksi kuliner biasanya terjadi secara besar-besaran, modus ini perlu diwaspadai secara saksama.

Ada juga bentuk kejahatan kuliner dengan modus "black campaign". Biasanya sih ini terjadi karena persaingan usaha. Menghembuskan isu bahwa bakso anu pakai daging tikus adalah modus yang populer di tahun 80-an. Issue halal sampai sekarang masih sering dipakai juga. Dengan semakin mudahnya akses internet, blogging dan milis, black campaign juga jadi lebih mudah tersebar. Kalau anda dosen/ peneliti di bidang komunikasi, mungkin bisa dibuat penelitian seberapa cepat sebuah berita negatif tersebar di tanah air. Saya pernah mencoba sebuah penelitian kecil beberapa tahun lalu dengan mengirim berita baik (nggak bohong) ke teman-teman, ternyata hanya dalam waktu 3 x 24 jam
berita tersebut sudah kembali ke mailbox saya, dikirimkan sebagai forward-an dari teman yang sudah bertahun-tahun gak ketemu. Kalau good news aja cuma perlu 3 hari, apalagi bad news. Berita buruk biasanya berhembus lebih cepat bukan?

Nah, terus sebagai tukang makan, pencinta "honest food", penjaga pusaka kuliner negeri (hiyaaaa... berat ya? :), apa yang bisa kita lakukan?

Sayangnya, sampai sekarang kejahatan kuliner belum dianggap sebagai kejahatan besar. Di kepolisian juga (sependek pengetahuan saya) belum ada Unit Khusus Kejahatan Kuliner. Jadi, tampaknya kita sebagai warga masyarakat harus bergerak dengan cara kita sendiri.

Sebagai konsumen, cuma satu caranya.. belajar terus biar pinter. Anda nggak akan tau bedanya ayam DeSY dengan ayam normal kalau nggak belajar, bukan? Kita ga akan ngeh kalau terlibat dalam black campaign, kalau kita nggak punya cukup ilmu buat mengenali email forward-an bohong, bukan? Jadi intinya mah, tambahin ilmu kulinernya terus.. Bukan cuma tentang "makan apa dimana", tapi juga "apa dan bagaimana makanan". Kalau perlu, setiap makanan yang disajikan diperlakukan secara 3D: Dilihat, Diraba, Diterawang..

Untuk anda yang terlibat di bisnis kuliner.. bulan Ramadhan selalu penuh dengan pengingat untuk jujur. Bisnis dengan cara yang baik akan berujung dengan kebaikan.

Jagalah hati..

I am baaackkk!!!

Hahaha.. ge-er.. emang ada yang kangen apa?

Ya, setelah hampir setahun ini blog nggak dicolek-colek, dan saya bereksperimen bikin blog ini-itu tanpa konsistensi (baik konten maupun ketraturan update), akhirnya saya kembali ke blog dodol ini..

Ternyata emang pada dasarnya saya doyan ngomongin makanan dan hal-haln yang berkaitan sama makanan. Baru-baru ini saya terinspirasi sama Alton Brown, jurig makanan dan scientist. Beliau bilang kalau "Everything in food is science. The only subjective matters happen when you eat it." Rasanya saya diingetin lagi bahwa saya pernah punya blog tentang makanan yang nggak mutu ini. Blog yang sok bercerita tentang "science and philosphy behind food".

Banyak hal yang sudah berubah sejak setahun berlalu.. Sekarang, rencananya blog ini akan hidup kembali. Dengan isi yang.. tetep, suka-suka saya, nggak banyak foto dan gambar (ini yang bikin saya nggak betah sama MP!), dan komentar yang tidak menggambarkan bagaimana popularitas saya dimata teman-teman yang jumlahnya terbatas (lagi-lagi.. ini yang bikin saya nggak betah sama MP!).

Doakan..