Monday, October 22, 2007

Marie? Marie Who?

Milis Jalansutra 27 Agustus 2007

Anak saya, Aga, lagi senang banget makan sendiri. Makan sendiri yang dimaksud adalah meremas biskuit sampai hancur lalu memasukkan remah-remahnya ke mulut (belum tentu mulutnya sendiri, bisa jadi ke mulut Mumu, boneka sapi kesayangannya). Salah satu menu andalannya dalah biskuit bundar, tipis dan kering bertitel "Marie". Dulu, keberadaan biskuit ini tidak pernah saya anggap serius. Tapi tiba-tiba tadi sore sambil melihat Aga saya berpikir.. Siapakah "Marie" yang namanya sudah nempel di biskuit sejak dulu kala? Siapa nama lengkap Mbak Marie ini? Tentu bukan Regal..

Maka sebuah investigasi dilaksanakan malam ini.. dan hasilnya *jreng..jreeennggg* sungguh di luar dugaan saya. Mbak Marie yang namanya dicetak di biskuit yang pernah jadi "the most popular hantaran ke rumah sakit" ternyata punya sejarah dan kisah yang panjaaaaang banget.

Dimulai ketika pada tahun 1875 (yap.. seribu delapan ratusan!) sebuah pabrik biskuit kondang dari London bernama Peek and Freans memperkenalkan sebuah biskuit gepeng sederhana. Pabrik ini berlokasi (sekarang) di 100 Clements Road, Bermondsey, London. Di atas biskuit sederhana itu dicetak nama "Marie" untuk memperingati pernikahan Duke of Edinburgh dengan Grand Duchess Maria of Austria. Nama Maria (atau Marie) inilah yang digunakan untuk menyebut sang biskuit. Entah karena nama "Maria" ini terdengar Spanyol abisss, atau karena ada alasan lain, para pembuat biskuit di Spanyol segera meniru dengan mencetak nama Jeng Marie ini di produk mereka. Konon saat ini separuh dari biscuit yang dikonsumsi di Spanyol adalah Marie Biscuits!

Perkembangan biskuit marie (di Surabaya dulu saya kenal sebagai "roti marie") semakin meluas. Para pelaut Inggris dan Spanyol membawanya ke seluruh dunia (meskipun armada laut Spanyol di akhir abad 19 sudah mulai letoy). Karena biskuit ini kering (kadar airnya rendah), jadi relatif awet untuk dibawa dalam perjalanan yang panjang. Apalagi kandungan susu di dalamnya membuat biskuit ini cukup padat gizi.

Entah tahun berapa biskuit ini nyampe ke Indonesia. Saya duga sih, nggak jauh dari awal tahun 1900-an dan semakin populer ketika banyak anak muda Indonesia (Oost Indie, waktu itu) dapet kesempatan sekolah tinggi, bahkan sampai ke Belanda. Pergaulan dengan European ini lalu berimbas pada budaya kuliner yaitu masuknya kebiasaan nge-teh sore-sore. Biskuit (tentunya, Marie) menjadi pendamping ideal acara ini.

Puncak kejayaan Marie di Indonesia ditandai dengan hadirnya Marie bermerk Regal. Kedua kata ini akhirnya sperti bersatu sehingga banyak diantara kita yang kenal biskuit ini sebagai "Marie Regal". Rasanya, jaman keemasan Marie Regal terjadi pada pertengahan tahun 1980-an ketika hampir semua rumah punya stok Marie Regal di lemari dan biskuit ini jadi sajian favorit dalam perjalanan (ke sekolah atau ke kantor) hadir dalam arisan, latihan volley dan acara-acara Dharma Wanita.

Tidak seperti dugaan banyak orang, Marie Regal bukan merupakan produk dari raksasa biskuit bernama Khong Guan! Marie Regal dibuat oleh CV Jaya Abadi Jakarta. Khong Guan, tentu punya Marie-nya sendiri, meskipun kalah kondang bila dibandingkan dengan Regal.

Setiap orang punya cara sendiri dalam menikmati Marie (Regal), tapi saya yakin cara yang dipakai ayah saya, yaitu mencelup Marie ke kopi atau teh manis adalah yang paling digemari. Adapaun cara yang dipakai anak saya Aga, yaitu biskuitnya diremas sampe bertebaran di sofa, umumnya kurang disukai karena berbagai sebab.. misalnya karena akhirnya sofa dirumah jadi disemutin.. duh..

Mendadak Ahli

Tulisan ini pernah dimuat di Appetite Journey Magazine bulan September 2006

Ada seorang sahabat yang beberapa hari ini tiba-tiba berubah, pokoknya apa saja tentang kopi bisa jadi bahan obrolan seru buat dia. Kalau di televisi muncul berita tentang Aceh, maka sahabat ini akan langsung bercerita tentang karakter kopi Aceh, teknik menyeduh, spektrum warna dan betapa seduhan kopinya berkilau bagaikan rambut gadis-gadis di iklan shampoo.

Saya pun akan "dilarang" untuk berkomentar yang terlalu sederhana apalagi miring tentang kopi. Kalau saya hanya bilang, "kopinya enak dan harum" maka ia dengan gigih akan menjelaskan tentang aroma, body, acidity dan finish. Kalau saya bilang, "gurih nih, mantep!" maka ia segera memperbaiki terminologi saya sambil menceritakan perbedaan karakter biji robusta yang body-nya semantap Titi Kamal si "Mendadak Dangdut" dan arabika yang lebih delicate dan sophisticated.

Tidak hanya hal-hal yang berhubungan langsung dengan kopi yang bisa jadi bahan obrolan. Sidang gugatan cerai penyanyi dangdut pun bisa berujung dengan obrolan tentang kopi. "Eh, lagu Kopi Dangdut tuh pernah ngetop banget loh di Jepang. By the way, tau nggak .. orang Jepang tuh suka kopi dengan karakter … bla.. bla.." Hal yang rasanya paling ‘nggak nyambung’ pun bisa dikaitkan dengan the object of his affection .. kopi.

Ini sih sindrom orang jatuh cinta! Orang yang lagi kasmaran ‘kan begitu, segalanya hanya tentang objek cinta itu. Dan jatuh cintanya kawan saya ini membuat dia tiba-tiba menjadi tahu banyak tentang kopi.

Terus terang, saya sih senang-senang saja karena selama dia masih mabuk cinta dengan kopi saya bisa kebagian icip-icip kopi dari berbagai penjuru Nusantara, dan diajak menjelajahi beberapa coffee shop untuk mencari espresso yang nikmat. Yang saya khawatirkan adalah kalau cintanya mulai redup, apalagi kalau mulai ada perselisihan antara dia dengan objek pujaannya itu. Misalnya kalau penyakit maag-nya kambuh. Wah, hubungan cintanya bisa jadi "benci tapi rindu". Apalagi kalau sampai dapat vonis larangan ngopi dari dokter. Bisa-bisa kisah cintanya jadi backstreet nih!

Nanti, kalau waktunya tiba dan kawan saya itu akhirnya "putus" dan "musuhan" dengan kopi, maka saya harus siap-siap mendengar aneka kisah pahit kopi. How coffee broke his heart, literally! Namun, sementara itu belum terjadi, saya menikmati saja aneka kisah dari sang ahli dadakan. Ilmunya lumayan kok.

Dapur Lintas Gender

Tulisan ini pernah dimuat di Appetite Journey Magazine bulan April 2006

Meskipun para tukang nasi goreng pinggir jalan dan chef restoran bintang lima umum-nya adalah lelaki, namun da-pur rumah tangga dikuasai kaum perempuan, baik itu ibu, istri atau si bibi. Perhatikan saja, mulai dari mengatur posisi panci dan wajan, menentukan merk kecap, letak bumbu dapur, semua seakan bagian yurisdiksi mereka.

Pertanyaannya adalah kenapa kaum lelaki se-akan menjadi alien di dapur? Golongan suami, om, kakek dan sebagainya yang berjender lelaki, umumnya masuk ke dapur hanya pada akhir pekan. Itu pun dengan catatan kalau tidak ada acara sepak bola di teve atau ditantang bermain bulu tangkis oleh Pak RT.

Padahal, jaman manusia masih tinggal di gua, yang bertugas memasak adalah kaum lelaki. Dari menangkap hewan buruan, menyalakan api sampai mengatur pembagian jatah makanan, semua jadi urusan kaum Adam. Kini peristiwa itu mungkin hanya terjadi setahun sekali, saat para lelaki kembali memegang kendali saat acara barbekyu malam Tahun Baru.

Nah, pernahkah Anda mendengar legenda tentang bidadari (pastinya perempuan) bernama Nawang Wulan, yang ketika sedang mandi di sungai selendangnya dicuri oleh pemuda bernama Jaka Tarub? Menurut reflechikayat, Mbak Nawang Wulan ini selalu melarang Jaka Tarub main ke dapur apa-lagi sampai membuka tutup panci dandang nasi. Suatu hari, Kang Jaka melanggar larangan tersebut. Akibatnya fatal, dia harus rela kehilangan istrinya yang secantik bidadari ini. Well, dia memang bidadari, dan memang sial buat si Akang.

Membaca legenda itu, saya lalu curiga jangan-jangan, Nawang Wulan adalah bidadari yang bertanggung-jawab atas tersisihnya para lelaki dari dapur. Dia memang sudah kembali ke Ka-hyangan, tapi sumpah dan larangannya ternyata masih berlaku dalam bentuk "Nawang Wulan Complex" atau "Nawang Wulan Syndrome": kaum lelaki malas ke dapur karena takut kuwalat, khawatir bila sang istri, pacar atau gebetannya merasa tersaingi dalam hal gastronomical.

Lebih gawat lagi, kalau kaum perempuan sampai merasa kurang diperhatikan karena lelakinya lebih suka bergelut dengan lengkuas dan kemiri. Lalu, kaum perempuan mulai lebih sering memakai selendang dan terbang ke sana ke mari. Atau bahkan justru membagi-bagikan selendang ke "Jaka Tarub-Jaka Tarub" lain. Kan repot..

Buat Apa Sih Liburan?

Tulisan ini pernah dimuat di Appetite Journey Magazine bulan Juli 2006

Setiap orang mungkin membutuhkan kegiatan yang selintas seperti membuang waktu ini. Kita perlu alasan yang bagus untuk membobol tabungan, lalu membeli tiket, mengurus penginapan, dan akhirnya pulang membawa segambreng oleh-oleh. OK, alasan paling utama orang berlibur adalah untuk rekreasi. Setelah berhari-hari mengerjakan hal-hal rutin, keadaan pikiran dan jiwa Anda mungkin perlu tune-up ulang, atau malah "dilahirkan" kembali… to be re-created.

Tapi tentunya tidak semua orang perlu alasan yang sebegitu dalam untuk pergi liburan. Anda yang punya pekerjaan dengan rutinitas dan tingkat stres yang tidak terlalu tinggi masih dapat refreshing dengan jalan-jalan ke mal, memburu DVD bajakan, atau bermain Playstation seharian. Lalu apakah itu berarti mereka tidak memerlukan liburan? Ya, tetap perlu, hanya saja dengan alasan yang berbeda.

Masih ingat jaman Anda SD dulu, ketika Anda masih menjalankan ritual berlibur ke rumah nenek di desa? Nah, inilah alasan yang lain untuk berlibur, yaitu bersilaturahmi. Target silaturahmi ini dapat berganti setiap tahun, mengingat zaman sekarang tidak banyak lagi nenek yang tinggal di desa karena sudah diboyong ke kota. Mungkin tahun ini adalah saatnya Anda mengunjungi teman lama, tempat tertentu, atau bahkan menyusuri jejak novel kontroversial yang sangat terkenal akhir-akhir ini.

Ngomong-ngomong soal ritual, ternyata cukup banyak orang yang merencanakan liburan hanya untuk mengisi jatah cuti atau hari libur, sekedar memenuhi ‘kewajiban’ mengisi hari yang kosong. Ini tentu kabar gembira bagi rekan-rekan yang bekerja di biro perjalanan karena mereka sudah punya pelanggan tetap setiap sesi liburan tiba. Tapi sebaiknya Anda berhati-hati jika ini adalah alasan Anda berlibur. Jika liburan sudah menjadi bagian dari rutinitas Anda, dengan cara apa lagi Anda bisa melepaskan diri dari rutinitas tersebut?

Seorang sahabat saya punya alasan yang sangat bagus untuk berlibur. Ia ingin menghabiskan sebagian waktunya dengan menjadi traveller. Anthony Bourdain, seorang celebrity chef kondang, pernah membuat suatu quote yang menarik, "Be a traveller, not a tourist". Alasannya sederhana saja, untuk membuka wawasan dan menambah pengalaman. Menjadi traveller berarti terlibat dengan intensif dalam kehidupan di tempat itu, meskipun hanya satu atau dua hari. Ini bedanya dengan turis, yang datang ke tempat wisata untuk menjadi penonton, berfoto, lalu pulang setelah membeli cindera mata. Dengan menjadi traveller, liburan bisa memberikan makna lain yang lebih dalam. Bukan hanya sekadar mencari backdrop eksotik untuk berfoto lalu dipajang di Friendster atau Multiply.

Jakarta? Asyik Dah!

Tulisan ini pernah dimuat di Appetite Journey Magazine bulan Juni 2006

Apa yang ada di pikiran Anda ketika menyebut ‘Jakarta’? Panas? Macet? Atau Anda malah terbayang mall besar yang sejuk dan terang, cafe dan club yang seru, atau sedapnya kerak telor dan soto betawi?

Di antara semua hal yang ditawarkan Jakarta, dunia kulinernyalah yang paling menarik bagi saya. Anda benar-benar dapat menemukan segalanya di sini. Mulai dari warung mie godog a la South Mountain (a.k.a. Gunung Kidul) sampai restoran masakan kari otentik gaya South India. Dari restoran fine dining gaya Eropa sampai warung Jepang kaki lima bernama suka-suka.

MonasMakanan khas Betawi juga tidak kalah menariknya. Sebagai ‘tuan rumah‘, masakan Betawi malah seringkali tampil sangat unik. Misalnya saja nasi uduk. Makanan yang sering dianggap ikon kuliner Betawi ini punya dua varian yang sangat berbeda. Versi pertama tampil dengan didampingi lauk kering dan goreng-gorengan yang gurih dan asin. Pada versi kedua, hidangan ini justru diguyur kuah semur jengkol yang manis dan mantap. Jika disandingkan, mungkin Anda tidak akan menduga kalau kedua makanan ini berasal dari satu genre: nasi uduk.

Keunikan juga dapat kita lihat pada pola makan warga Jakarta. Di tengah malam, tukang nasi goreng, roti bakar dan mie rebus justru ramai oleh warga Jakarta yang pulang dugem dari club atau cafe (yang tentunya juga menjual makanan). Tukang ketoprak dan bubur ayam di balik gedung-gedung tinggi tiap pagi ramai melayani pembeli, yang sebagian sebenarnya sudah sarapan di rumah dengan semangkuk sereal dan segelas susu. Pada jam makan siang, sambil ngobrol tentang cara mencegah kolesterol, ngerinya penyakit kanker, dan pentingnya menjaga kesehatan, mereka tetap dapat menikmati pecel lele yang digoreng dalam minyak yang warnanya sudah mirip oli bekas. Warga Jakarta yang terkenal tak sabaran menunggu lampu merah di jalanan, ternyata cukup sabar (baca: terlalu sabar) untuk menunggu beberapa jam demi sepotong brownies asal Bandung, sekotak roti abon, atau sekantung donat super manis!

Nah, sekali lagi, apa yang muncul di pikiran Anda jika ada yang menyebut ‘Jakarta’? Masih terpikir tentang panasnya udara dan macetnya jalan raya? Hal itu memang tak terpisahkan dari kehidupan Jakarta. Tapi Jakarta tak hanya punya panas dan macet, ia juga punya dunia tersendiri dan budaya kuliner yang khas. Dunia yang unik, yang mungkin dapat membuat Anda super bahagia tinggal di Jakarta. Selamet Ulang Taon yee...

What's In A Name

Tulisan ini pernah dimuat di Appetite Journey Magazine bulan Mei 2006

Beberapa bulan lalu seorang sahabat mengajak saya mampir ke restoran - sebut saja - Cahaya Abadi. Restoran yang terletak di kawasan Kota, Jakarta Utara ini, konon, mempunyai hidangan burung dara goreng yang sedap tiada tara. Gurih, empuk dan lezat. Pokoknya juara dunia, deh! Tapi, jujur saja saya punya keraguan untuk makan di sana. Bukan karena burung dara gorengnya yang ngetop itu, tapi justru karena nama restorannya.

Well, bagi saya nama adalah kesan pertama yang akan diingat orang akan sesuatu. Dan itu termasuk si restoran tersebut, yang bagi saya namanya lebih mirip dengan toko bahan bangunan.

Beberapa tahun lalu, nama restoran dengan menggunakan pola “[insert your name here]’s Kitchen”, menjadi tren di negeri ini. Maka lahirlah restoran dengan nama Mama’s Kitchen, Choky’s Kitchen, Mimi’s Kitchen dan lain-lain. Varian lainnya adalah “Dapur Anu”. Misalnya Dapur Bang Haji, Dapur Betawi, dan Dapur Babah. Awalnya memang lucu dan imut. Tapi lama-lama agak menyebalkan juga, terutama kalau kita tak kenal nama pemilik dapur itu. Siapa sih lu?

Tren nama ini kemudian mulai bergeser ke "Roemah Sesoeatoe“. Ada Roemah Kopi, Roemah Nenek, dan roemah-roemah lainnya. Ada apa sih dengan “edjaan lama“ ? Entahlah, tapi yang jelas nama-nama restoran dengan ejaan lama ini berkembang luar biasa. Sampai-sampai kata “kopi“ saja bisa menjadi nama restoran yang hype kalau anda tulis sebagai “Koffie“.

Belum lagi tren mengekor nama jika ada yang suk-ses. Ingat kisah si Roti Ngobrol (Baca: Bread Talk)? Dalam sekejap mereka mempunyai cerita (Bread Story), menjadi pecinta (Bread Lover), bahkan diangkat menjadi raja alias Bread King. Roti-roti ini tiba-tiba mempunyai aktivitas bahkan profesi!

Namun, tak semua nama restoran melulu mengikuti tren. Ada beberapa nama klasik yang menjadi favorit sejumlah pemilik restoran. Misalnya, Sabar Menanti, Takana Juo, Sudi Mampir, atau Ojo Lali. Beberapa nama klasik justru menarik karena bisa punya arti ganda. Misalnya, Ayam Bakar Jakarta atau Jagung Bakar Bandung. Wah, ini restoran punya menu yang sungguh berbahaya. Bayangkan, ada ayam... bakar Jakarta!

Nah, pada akhirnya Anda tentu mengingat kata-kata Oom William Shakespeare. Katanya, “What’s in a name?”. Ya, apalah arti sebuah nama. Burung dara goreng, asalkan dimasak dengan jempolan, akan tetap terasa lezat. Sekalipun jika disajikan di restoran yang bernama mirip toko bahan bangunan. Ya... seperti Cahaya Abadi itu...

Thursday, February 8, 2007

Aneka Gaya Resto Review

Lagi iseng aja ngebayangin, kira-kira gaya apa aja yang bisa dipakai untuk mereview suatu restoran.

Gaya Batavia 1924, review waroeng soto:
Ini ada soeatoe waroeng jang pernahnja trada sabrapa djaoe di sabelah wetannja Harmonie. Ini waroeng djoewal roepa-roepa makanan jang orang banjak bole coba. Satoe jang paling sohor saantero Batavia jalah diapoenja soto ajam. Ini soto jang terbikin dengen roepa-reopa boemboe choesoes jang didatengken langsoeng dari Soerabaia dengen spoor. Dia orang poenja toekang masak soeda terkenal poenja kerdja rapi, tjermat dan soenggoe achli tida kalah dengen koki jang ada dipiara oleh toewan Olanda di Kondangdia...

Gaya SMS, review restoran ayam goreng:
T4nx aSli asik bgt, ayamnx gurih, samblnx pdes gila. Pas bgt scara gw plg BT k-lo dpt sambl but ga krasa. Pls deh. Eh, bales ya pls, pulsa gw mo abiz ntar mlm gw mizcol aj trusan rviewnx ya?

Gaya pantun lenong, review warung nasi uduk:
Eh penonton!!!! Nih aye dateng.. Kepiting mencapit kerang, kerang digulung pake anduk. Pasang kuping biar terang, ini ripiu warung nasi uduk..
Bukannye anduk sembarang anduk, ni anduk gambarnye pare. Bukan uduk sembarang uduk, ni uduk dari Cinere..
Dari subuh kagak berenti, ujan deres kalinye banjir. Dari jauh dateng kemari, udah pasti kagak mubajir..
Buaye darat lagunye Ratu, grupnye bubar bentaran lagi.. Nyang sedep gorengan paru, nyoba sekali eh nyomot lagi. Beneran Bang, bukan cuman nasi uduknya nyang sedep.. goreng parunye.. beudeuh.. mertua lewat maen tanjidor juga kagak ditengok dah!

Gaya novel Jomblo, review warung gado-gado (with a bow to Aditya M):
Sumpah, sebelum ketemu dengan makanan yang namanya gado-gado ini, sayah nggak pernah percaya kalau pertemuan antara batu ulekan segede gagang telepon kecamatan dengan sebongkah coet akan menghasilkan produk yang mampu mengguncang jiwa. Gado-gado adalah simbol pertemuan-pertemuan, bukan hanya dua pasang batu tetapi juga aneka sayuran yang kalau berdiri sendiri atau bertemu tidak pada tempatnya akan menghasilkan sensasi rasa yang bikin bingung. Pernah ngunyah kacang panjang pake gula merah? Atau nyicipin campuran toge rebus dan irisan kol di atas sebilah kerupuk?

Gaya Horoscope, review Sate Kiloan:
Aquarius (20 Januari – 18 Februari)..
Anda perlu berhati-hati menghadapi api yang mulai membara. Pilihan sulit memang harus diambil dalam waktu singkat. Dibawah pengaruh Aries, anda akan memesan sate kambing yang lezat. Jangan mudah terpengaruh, tetaplah pada pilihan jika hati sudah bicara. Sop kambing di sini tak seberapa mak nyuss dibandingkan satenya.
Keuangan: Pengeluaran yang terkendali adalah kunci ketenangan dompet. Cukup Rp. 18000 untuk makan siang nikmat kali ini.
Asmara: Tak perlu cemburu jika si dia tampak tak peduli. Meskipun si dia Aquarius seperti anda, bukan berarti pilihannya cuma air putih bukan? Sekali-sekali, coba juga jus terong belanda yang segar.